Entri Populer

Rabu, 09 Februari 2011

PERUBAHAN PRIBADI SEBUAH KENISCAYAAN

Oleh: U. Wahyudin


Berbagai peristiwa menyedihkan yang terjadi akhir-akhir ini (kita bersama-sama merasakan dan menyaksikan pembakaran rumah ibadah, penyerangan terhadap sebuah golongan dengan mengatasnamakan Agama) berada dalam suatu kondisi yang seakan mendorong kita untuk tidak mengenal siapa diri kita, siapa saudara kita, sangat memalukan dan menyayat hati.
Peristiwa sebelumnya yang juga sangat memalukan adalah terbongkarnya berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh aparat pajak kita, Gayus si petugas pajak menjadi sebuah ikon untuk korupsi. Hal ini juga sangat memalukan dan menyayat hati, memalukan karena korupsi yang merajalela itu tidak dilakukan oleh orang-orang yang bodoh melainkan oleh orang-orang yang mempunyai akal (otak)tetapi tidak dikendalikan oleh hati yang bersih, mata hatinya telah tertutup oleh hawa nafsu, angkara murka dan keinginan untuk menguasai.
Orang yang telah tertutup mata hatinya akan menjelma menjadi orang yang serba tega terhadap siapapun, menghalalkan segala cara untuk memperoleh apapun, dengan cara apapun. Apabila hati telah tertutup, tindakan yang dilakukan manusia umumnya hanya dimotivasi oleh rasa "berani" dan nafsu. "Berani" korupsi, "Berani" membunuh dan membinsakan, "Berani" menipi dan sebagainya. Bagi Manusia yang hatinya tertutup atau bahkan boleh dibilang sudah mati, komunikasi dengan Tuhan tidak akan berlangsung dengan baik. Hati yan mati juga menyebabkan orang tak lagi mempunyai empati terhadap orang lain dan gagal dalam mendata perasaan orang lain.

Krisis multidimensi yang mendera Bangsa Indonesia beberapa waktu yang lalu seringkal dituduh sebagai biang keladi hilangnya keramahan di masyarakat, yang pada fase berikutnya bermetamorfosis menjadi krisis intelektal dan nurani kemanusiaan.
Kebiasaan untuk tidak menghargai perbedaan, atau bahkan cenderung mencurigai dan membenci mereka yang berbeda pandangan, justeru semakin muda terpicu, mewujud dalam pelbagai praktik destruktif dan tindak kekerasan dalam menyelesakan masalah, kemarahan dan keinginan untuk menghancurkan, dan lain-lain. Seolah benang halus yang menghubungkan satu dengan yang lain tak lai mampu dirasakan manusia Indonesia; seolah tak lagi menganggap adanya campur tangan Tuhan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat serta bernegara. Fase inilah yang akhirnya kita bisa sebut sebagai fase hilangnya jati diri.

Jati diri atau seringkali juga disebut kaakter, sebetulnya bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah, akan tetapi jelas memerlukan waktu yang sangat panjang. Untuk bisa membangun jati diri hanya bisa terlaksana kalau kita mau mengadakan perubahan terhadap diri sendiri. Anthony De Mello, dalam bukunya "Awarness", four steps to wisdom, tentang empat langkah untuk memiliki sikap arif dan bijaksana, menulis sebagai berikut: Awarness of your negative feelings (sadari adanya perasaan negatif pada diri anda), The feeling is in you, not in reality (perasaan itu ada di dalam diri anda, tidak dalam kenyataan), never identify with that feeling (jangan samakan diri anda dengan perasaan tersebut, perasaan itu tidak ada kaitannya dengan pribadi anda), dan how do you change this? (Bagaimana anda mengubah keadaan?).
Ajaran Anthony de Mello ini, secara ringkas dapat kita uraikan sebagai berikut:
pertama, kenalilah perasaan negatif yang ada pada diri kita dan tidak kita ketahui. Kita terkadang merasa bersalah, membenci diri kita sendiri, kia merasa bahwa hidup ini tanpa arah dan sebagainya. Kenalilah terlebih dahulu perasaan-perasaan tersebut.
Kedua, memahami bahwa perasaan negatif itu ada dalam diri kita sendiri, tidak dalam kenyataan. Jadi berhentilah mengubah kenyataan, mengubah orang lain.
Ketiga, Jangan pernah menyamakan diri anda dengan perasaan tersebut. Jika kita menghadapi tekanan misalnya, katakan ada tekanan, jangan pernah mengatakan "saya tertekan".
Ke empat, bagaimana kita mengbah sesuatu? Bagaimana kita mengubah diri kita sendiri? Kita seringkali menginginkan orang lain berubah dan kita merasa senang, so whats next? Ketika orang lain berubah kita tetap saja seperti sebelumnya, tetap terlena seperti sebelumnya. Kitalah sesungguhnya yang terlebih dahulu harus berubah.

Dalam kaitannya dengan manusia Indonesia, kepribadian yang mengacu pada sistem nilai Pancasila harus dapat dipahami dan terlihat secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai tuntunan dan tujuan hidup bangsa, Pancasila seyogyanya dapat dipahami, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi, mengapa ang terjadi akhir-akhir ini justeru bertolak belakang dengan kepribadian Pancasila? Sifat ramah tahan, sopan santun dan suka menolong yang sering dilekatkan kepada kita ternyata telah mengalami deteriorisasi atau perusakan yang cukup mencolok.
Tidak perlu dipungkiri bahwa sifat-sifat bangsa kita yang kini menonjol justeru sifat-sifat yang serba negatif, mudah tersingung, bengis, beringas, main hakim sendiri, fanatik dan gampang "mengamuk". Sifat-sifat ini tentu saja tidak sesuai dengan apa yang selama ini selalu kita banggakan: ramah tamah, sopan santun, suka menolong dan sebagainya. Sifat ramah tamah berubah menjadi beringas, sifat sopan santun berbalik menjadi kasar, berangasan, sifat suka menolong memudar menjadi egois dan dan hanya mementingkan diri dan kelompoknya. Sementara perbedaan Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) bukannya memperkokoh toleransi dan persatuan, tetapi malah memperuncing perbedaan.
Inilah yang petama-tama perlu diperangi dalam diri kita sebagai pribadi-pribadi yakni dengan pemantapan jati diri dan karakter kita yang pada dasarnya berkaitan dengan erat dengan lingkup keberadaan kita sebagai Individu, pada tingkat lebih lanjut seseorang yang telah memiliki jati diri pribadi, diharapkan mampu menularkannya pada lingkungannya, baik di lingkungan keluarga, tetangga dan masyarakat terdekat (masyarakat).
Pendek kata, apabila kita bertekad menumbuhkan ketahanan pribadi, menumbuhkan jati diri pribadi, efek bola salju pasti akan terjadi. Jika setiap pribadi mampu melakukan hal ini dan berlangsung pada lebih dari satu pribadi, bisa dibayangkan betapa hebat efek bola salju yang akan terjadi.
Rhenal Kasali, seorang ahli manajemen, dalam kata pengantar bukunya yang berjudul "Change!", antara lain mengatakan bahwa jangan sampai kita kehilangan momentum untuk berubah! Ya, inilah kesempatan kita. Sekali moment ini hilang, semuanya akan kembali ke cara-cara lama, dan itu berarti negeri kita akan menjadi padang pasir yang tak punya apa-apa lagi. Perubahan itu harus dimulai dari diri kita sendiri, dari hal-hal kecil, dari yang paling mudah, dan dilakukan.. sekarang juga!. Smoga...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar